Karnaval siang tadi

This slideshow requires JavaScript.

Tadi siang ada karnaval di kampung saya. Diadakan dalam rangka bersih desa, tiap setahun sekali. Acara utama-nya sebenarnya kara’an opak. Tapi, banyak hal menarik lain yang saya lihat di karnaval siang tadi.

Di karnaval siang tadi saya lihat ada Ibu-ibu dandan sambil nari

Saya lihat Bapak-bapak  dandan jadi ondel-ondel

Saya lihat mbak-mbak cantik dandan pake baju bunga, pake baju kertas koran

Saya juga lihat ada adik-adik SD main drumband

Juga mas-mas pake baju singa-singaan, kuda-kudaan, joget di jalan

Semuanya di karnaval siang tadi.

Di siang yang lumayan terik–nggak mendung sama sekali

Siang tadi memang terik, tapi mereka toh tak kehilangan semangat

Kebayang, pasti itu latihannya berhari-hari

Sewa baju, dandan…

Hmmm..

Salut

Mereka, warga kampung yang peduli

Ikhlas bekerja — tanpa imbalan apapun

Mereka masih mau meluangkan waktu pribadi buat ikut latihan joget tiap sore

Ikhlas, tanpa pamrih

Hanya karena senang bersama, ikut memeriahkan dan menjaga tradisi desa

Dari mereka saya dapat lagi bukti bahwa masih ada orang di negara kita yang tidak individualis

Yang cuma mau kerja kalo ada duit

Alhamdulillah masih ada mereka

Bapak-bapak, Ibu-ibu, mas-mbak-dan adik-adik warga kampung yang peduli

Tanpa mereka mungkin di kampung saya tak ada lagi karnaval karak-opak setahun sekali

Tagged , ,

Satu lagi cerita tentang ruang terbuka publik: Alun-alun Batu, mau lagi, lagi, lagi, lagi

“Public space is for living, doing business, kissing, and playing. Its value can’t be measured with economics or mathematics; it must be felt with the soul.” –Enrique Peñalosa-

Kalimat Enrique Peñalosa, Walikota Bogota periode tahun 1998-2001 di atas telah menyiratkan dengan sangat jelas betapa penting keberadaan ruang terbuka publik bagi ‘hidupnya’ sebuah kota. Ruang terbuka publik yang dimaksud disini tentunya ruang publik tak tersegmentasi yang nyaman dan dapat dinikmati masyarakat dengan bebas. Bukan ruang publik yang kotor, tak terawat dan hanya mengundang ketakutan—seolah sekedar diperuntukkan bagi kaum gelandangan dan preman. Ya, ruang terbuka publik yang prioritas investasinya seringkali ‘terlupakan’ oleh pemerintah kota kita karena terkalahkan oleh berkilaunya mall dan pusat perbelanjaan.

Sebelum Peñalosa menjabat walikota Bogota, kota tersebut sama dengan kota-kota negara berkembang lain di dunia. Terbelenggu polusi kemacetan, permukiman kumuh, juga kriminalitas. Segalanya yang menyebabkan kota menjadi tempat yang tak nyaman ditinggali. Namun berbagai kebijakan yang dilakukan Peñalosa, diantaranya perbaikan sistem transportasi massa serta penyediaan ruang-ruang terbuka publik yang nyaman bagi aktivitas warga kota, telah menjadikan Bogota sebagai tempat yang jauh lebih nyaman untuk ditinggali. Kesuksesan Peñalosa dan Bogota-nya tentu memberikan pelajaran berharga bagi kita tentang bagaimana meningkatkan kualitas kehidupan di kota.

A great city is one where people want to go out of their homes. A good city is not malls, but public space and parks. Public space is a magical good and never ceases to yield pleasure: we should pay it a lot of attention. Public good prevails over private interest. A great city is where we all feel not excluded. “ – Enrique Peñalosa mengutip dari Jan Gehl –

I would say that the great city is not the one that has highways, but one where a child on a tricycle or bicycle can go safely anywhere. Parks and other pedestrian places are essential to a city’s happiness. ” – Enrique Peñalosa –

bogotaOke.. dari Bogota, sekarang kita terbang ke Indonesia, negara kita tercinta. Sama seperti Bogota, Indonesia juga merupakan negara berkembang dengan peningkatan jumlah penduduk yang signifikan. Kota-kota besar di Indonesia-pun menderita penyakit kronis yang sama. Kemacetan, kemiskinan, permukiman kumuh, sampah yang seolah selalu menjadi momok pengiring pesatnya pembangunan kota. Disisi lain, hingga saat ini tak banyak kota-kota di Indonesia yang memperhatikan perencanaan ruang terbuka publik-nya dengan baik.

Malang, kota saya tercinta merupakan salah satu kota yang menurut saya kurang memperhatikan kebutuhan warganya akan ruang publik yang berkualitas (baca tulisan saya tentang Malang di sini). Sebuah ruang publik paling layak dan menarik yang saya temukan sayangnya justru dimiliki oleh kota Batu, ‘adik kecil’ Malang yang kini tumbuh semakin pesat sebagai kota wisata.

Sudah pernah ke alun-alun Batu? Jika belum, ayo datang dan rasakan sendiri sesasi ruang publik yang sesungguhnya. 😀  Semenjak diresmikan hasil renovasinya pada 2011 lalu, ruang terbuka publik utama di pusat kota Batu ini seolah tak pernah sepi dari pengunjung. Dari pagi hingga malam,  tak peduli hari kerja biasa, apalagi akhir pekan. Di sini kita dapat melihat segala tingkah polah masyarakat kota; dari anak-anak hingga dewasa, tua-muda, miskin-kaya yang berbaur dalam satu perasaan yang sama—bahagia.

Bagaimana bisa demikian? Tentu saja selain karena aksesibilitasnya yang mudah, biaya masuknya yang nol rupiah, desain alun-alun yang dibuat dengan terencana membuat masyarakat merasa senang beraktivitas di dalamnya. Disamping itu manajemen pengelolaan yang baik telah menjamin kebersihan dan keamanan lokasi ini dan menjadikan masyarakat semakin merasa nyaman serta ingin datang mengunjungi ruang publik ini lagi-lagi-dan-lagi.

Jan Gehl (1986) dalam bukunya Life Between Building menyatakan bahwa tempat-tempat umum yang didesain dengan baik (high quality public space), akan mendorong seseorang betah berada lebih lama berada pada tempat tersebut, dan mengunjunginya secara frekuentatif. Dengan demikian ragam aktivitas yang terjadipun akan semakin meningkat. Tidak hanya aktivitas fungsional saja, namun akan meningkatkan kemungkinan terjadinya aktivitas sekunder dan sosialisasi.

Masyarakat kota butuh aktivitas diluar rumah. Di ruang publik yang nyaman, ramah, dan tak mebuat mereka terdiskriminasi. Masyarakat butuh bersenang-senang dan bersosialisasi. Untuk saling mengenal sesama mereka. Untuk mengenal kotanya.

Pernyataan Gehl tersebut terbukti pada Alun-alun Batu. Seperti telah saya sebutkan sebelumnya, ruang terbuka ini didesain dengan matang dengan fasilitas penunjang yang lengkap. Disini kita dapat menikmati sensasi melihat kota diatas bianglala raksasa dengan harga tiket 3000 Rupiah saja. Taman air, taman bermain anak, taman lalu lintas disediakan sebagai fasilitas bermain dan belajar bagi anak-anak. Gratis. Sejumlah air mancur, beragam tanaman, bangku-bangku taman, patung-patung dan lampion hewan hadir melengkapi affordance yang ditawarkan Alun-alun Batu bagi penikmatnya. Bahkan di ruang terbuka ini, kita juga dapat merasakan pengalaman buang air kecil di dalam apel raksasa. ;p Lapar? Tak perlu khawatir, karena di sekitar alun-alun tersedia penjaja segala jenis makanan—ringan maupun berat—termasuk pos ketan legendaris yang tentu sayang jika dilewatkan. Menarik bukan?

Pada setiap sudut alun-alun batu kita akan mudah menjumpai pasangan muda yang duduk memadu cinta. Di sudut lainnya tampak satu keluarga yang sedang berpose foto bersama di bawah ‘icon’ buah apel raksasa. Segerombolan anak kecil tampak asyik berlarian sambil berteriak-teriak kegirangan di area taman air. Seorang ibu sedang duduk menyuapi anaknya yang asyik bermain di arena anak-anak, tak ketinggalan seorang pria paruh baya yang berjalan perlahan di arena refleksi. Semua orang senang, semua orang menikmati aktivitasnya. Saya pun sangat menikmati aktivitas ini, berjalan-jalan sambil mengabadikan aktivitas masyarakat di ruang publik bagi saya adalah kesenangan yang tak tergantikan. Merasakan suasana kota yang hidup. Sungguh menginspirasi.

This slideshow requires JavaScript.

Mungkin banyak diantara Anda yang meragukan keindahan Alun-alun kota Batu akan mampu bertahan selamanya.  Hal yang wajar, mengingat kebiasaan buruk masyarakat kita yang hampir selalu tak pernah dapat menjaga fasilitas yang disediakan dengan baik. Tangan-tangan nakal, kebiasaan buang sampah sembarangan, juga kebiasaan buruk lain yang dapat membuat kita tak lagi bisa merasakan kenyamanan beraktivitas di Alun-alun Batu seperti saat ini.  Bahkan saya sendiripun pernah bertaruh. Sampai kapan ruang publik ini akan bertahan?

Namun untungnya, keseriusan Pemerintah Kota Batu dalam menangani salah satu aset kotanya ini telah berhasil menyingkirkan kekhawatiran saya. Setidaknya hingga saat ini. Beberapa minggu lalu saya berkesempatan menikmati malam di Alun-alun Kota Batu. Senang, karena suasana dan kebersihannya sungguh masih sama dengan setahun lalu. Sebuah prestasi tersendiri bagi saya. Di berbagai sudut masih tampak bak-bak sampah yang dilengkapi kotak pemisah jenis sampah. Sayup-sayup terdengar melalui pengeras suara—petugas taman yang mengingatkan masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya, mengingatkan anak-anak agar tak menginjak lubang keluarnya air pada taman air mancur, mengingatkan ibu-ibu bahwa wahana rumah-rumahan, seluncuran, dan ayunan hanya diperbolehkan bagi anak berumur kurang dari lima tahun. Perilaku masyarakat Indonesia memang membutuhkan manajemen yang tegas—dan Pemerintah kota Batu menyadari betul hal ini. Ketika malam semakin larut, beberapa petugas kebersihan mulai datang untuk membersihkan area Alun-alun. Tidak banyak sampah yang terlihat, sebagian besar sampah yang terlihat hanyalah daun-daun yang berguguran.

This slideshow requires JavaScript.

Saya yakin tak sedikit dana yang dibutuhkan bagi perawatan Alun-alun Kota Batu setiap harinya. Namun kesadaran pemerintah akan kebutuhan masyarakatnya terhadap ruang publik kota yang tak tersegmentasi membuat mereka serius menanganinya. Seandainya seluruh pemerintah kota di Indonesia seperti ini, alangkah senangnya.

Kota Malang kini telah memiliki ‘Bapak’ baru. Seorang Bapak yang masih saya tunggu kiprahnya untuk menghijaukan kembali Malang.  Untuk menghadirkan ruang-ruang publik tak tersegmentasi serupa Alun-alun Batu di kota Malang. Bukan melulu mall, ruko, dan mini market.

Semoga

Ps. Oh ya, jika ingin mempelajari keberhasilan Penalosa dalam mengelola Bogota, berikut adalah link-nya.

Referensi

Gehl, J (1986). Life Between Buildings: Using Public Space, New York: Van Nostrad Reinhold Company

Imaginative America. (2009). Enrique Peñalosa on Good Cities. http://www.imaginativeamerica.com/2009/02/enrique-penalosa-on-good-cities/. Diakses pada 22 September 2013

Project for Public Spaces, Enrique Peñalosa, http://www.pps.org/reference/epenalosa-2/. Diakses pada 22 September 2013

Project for Public Spaces. Parks for Livable Cities: Lessons from a Radical Mayor. https://www.pps.org/reference/penalosaspeech2001/ . Diakses pada 22 September 2013

http://www.youtube.com/watch?v=IjhMQM8eaVY

Gambar Bogota di edit dari sini dan sini

Tagged , , , ,

Angin semilir yang menyejukkan

Lama tak menyapa blog ini, saya tiba-tiba datang dengan judul yang ‘tak biasa’. Tak biasa saya gunakan maksudnya. Kalau untuk Bu Ririn sih biasa.. hahaha.. Lalu kenapa dengan angin? Apa karena baru jalan-jalan ke pantai mendadak saya menuliskan tentang angin?

Bukan… jelas bukan. Ke pantai kan sudah semester lalu. Semester ini mau ke gunung. Rencananya. Ya.. tapi belum sempat-sempat. Hehehe… Hmm.. sudah cukup ngaco-nya. Kembali ke topik angin tadi. Sederhana saja, saya ingin mencairkan kekakuan pikiran saya—karena cukup lama tak menulis, dengan topik yang ringan. Ringan—semilir—namun menyejukkan. Seperti angin. Angin semilir tentu, seperti judul saya diatas. Bukan angin bahorok 😀

Sore kemarin, Saya, Bu Ririn, dan Bu Shirley kembali menghabiskan waktu untuk mempersiapkan agenda Prodi yang akan datang. Pameran karya mahasiswa ‘kecil-kecilan’ untuk acara kampus hari Senin besok. Saya sebut kecil-kecilan karena acaranya masih di lingkup kampus, dan persiapannya pun tidak terlalu memberatkan. Kali ini kami dibantu oleh mahasiswa baru angkatan 2013.

Sore yang cukup melelahkan, namun menyenangkan. Sungguh menyenangkan—dan sedikit surprise melihat tingkah mereka, mahasiswa baru kami—yang ternyata seperti mahasiswa normal. Ya, benar tingkah laku mereka seperti mahasiswa normal pada umumnya. Bukan mahasiswa ‘normal’-nya kampus ini 😀

Mereka sama sekali bukan tipe mahasiswa pendiam, yang super rajin dan takut dosen. Seperti saya bilang tadi mereka normal. Sore kemarin, mereka—mahasiswa baru Arsitektur angkatan 2013 terlihat kompak dengan dress code batik-nya. Sore kemarin menjadi sore yang ramai penuh tawa canda khas anak-anak yang sedikit lebay. Meriah dengan tingkah polah narsis mereka yang alay. Sungguh senang rasanya melihat anak-anak baru kami tampak menikmati ‘tugas’ pertamanya—dengan ringan tangan dan tanpa ekspresi keterpaksaan. Menyejukkan, karena bagi saya itu pertanda. Pertanda bahwa mimpi kami—para dosen untuk membawa anak-anak lebih dekat dengan prodi-nya dan menumbuhkan rasa ‘memiliki’ Prodi Arsitektur ini tampaknya akan dapat terwujud.

Mhs 2013

Mahasiswa baru angkatan 2013 ini normal. Begitupun di kelas saya. Desain Arsitektur 1. Studio memang tak pernah sepi karena candaan-celetukan-tawa, dan senandung mereka. Khas studio Arsitektur yang ‘hidup’. Mahasiswa arsitektur angkatan 2013 ini adalah mahasiswa yang penuh rasa ingin tahu. Bukan hanya terhadap materi perkuliahan dan tugas. Namun segalanya. Segalanya terutama tentang kehidupan kampus yang akan mereka jalani sekitar empat tahun kedepan. Namun hal yang paling menyenangkan bagi saya adalah sikap mereka yang bertanggung jawab. Datang ke kelas tidak pernah terlambat, dan tugas selalu beres. Mahasiswa yang nakal itu normal bagi saya—sejauh mereka bertanggung jawab pada kewajibannya.

Yah.. Semoga perilaku ‘normal’ itu tak hanya berhenti sampai semester ini—dan tak terkontaminasi seiring keintiman mereka dengan warga lain kampus ini hari ke hari 😀

Keep on the good work ya Nak.. Sampai kalian lulus nanti. Sampai kapanpun.

Tagged , ,

Petualangan anak ilang ke Bandung (part-1)

Kereta berangkat jam 17.00, setelah sebelumya gagal meng-cancel tiket berangkatnya Bu Ririn gara-gara kebodohan tak terperi (nggak tau kalo harus pake fotokopi ktp–padahal udah antri pada menit-menit terakhir pembatalan). Ampuun Buuu…

tempat duduk saya dan--Hiiiks--seharusnya Bu Ririn.. :'(

tempat duduk saya dan–Hiiiks–seharusnya Bu Ririn.. 😥

Perjalanan terasa tenang dan damai, sampai datanglah seorang Bapak-bapak yang meng-interupsi tempat duduk Bu Ririn. Pose tidurnya ituloohh sungguh merajalela. Hadeewh… >,<  (Nggak saya poto lah yaaa.. :D)

Akhirnya nyampe di stasiun Bandung, jam 6 an. Langsung deh melaju secepat kilat ke kamar mandi. Kamar mandi di pintu selatan oke juga looh… Bersih dan nyaman 😀

Foto kamar mandi & musholla-nya.  Dari luar aja yaaa... hahaha :D

Foto kamar mandi & musholla-nya. Dari luar aja yaaa… hahaha 😀

Inilah bukti otentik bahwa saya benar-benar sudah sampai di Bandung. (Lah.. saya-nya mana? orang gak ada gitu dibilang otentik… sapa tau copy-paste dari google).  Hahaha… suwer, itu foto asli. Saya memang lagi di Bandung.

Sumpeh, itu saya yang ambil foto :D--suasana pintu selatan stasiun Bandung

Sumpeh, itu saya yang ambil foto :D–suasana pintu selatan stasiun Bandung

Saya fota-foto dan duduk-duduk nunggu waktu. Masih jam 6 pagi. Mau ngapain coba… Check in masih lama, pasar baru juga belum buka. Trus saya juga masih harus fotokopi KTP-nya Bu Ririn untuk pembatalan tiket. Cari fotokopi dimana ya? Udah buka belum jam segini?..

Mmm… mikir-mikir-mikir… makan dulu aja ah. Laper 😀

Menu makan pagi di RM-Padang stasiun :D

Menu makan pagi di RM-Padang stasiun 😀

Kenyaaangg…

Saya terus keluar, cari fotokopian. Sayangnya tempat foto kopi cuma ada sebiji. Itupun belum buka 😦 Yaudahlah yaa… saya jalan-jalan dulu ke pasar baru untuk belanja-belanji, hihihi :p (tapi nggak sempet foto). Habis itu balik lagi ke stasiun. Ternyata tempat fotokopinya masih belum buka juga. Hadewh..

Muter-muter kaya kitiran, tanya sana-sini dimana tempat foto kopi yang lain. Ternyata NIHIL sodara-sodaraa… Hmmm.. akhirnya saya putuskan ke stasiun utara saja, kali ada foto kopi di sana. Sebelnya kok ya gak boleh langsung masuk stasiun lagi, harus muter.

Jadilah saya naik angkot ke stasiun utara (ribet deehh)

Daaann… setelah melewati serentetan prosedur, sukseslah saya membatalkan tiketnya Bu Ririn. Haha.. Tapi duitnya baru bisa diambil sebulan lagi. Yaelaaahhh….

Akhirnya naik angkotlah saya ke hotel. Fyuuuhhh… capeekk.. panas.. tampang udah kaya babu gak mandi seminggu, dan masih harus bertarung melawan macetnya Bandung.

Bandung macet

Bandung macet

Akhirnya sampe hotel. Jam 12 tet. Tapi ternyata check-in nya jam 2 sodara-sodaraaa….. Yaaahhh… akhirnya saya mandi di ruang ganti kolam renang, nitipin barang di lobby, dan langsung melaju ke Ciwalk. Owh Yeaaahhh… hahahah 😀 (Mana rapat-nya… perasaan dari tadi jalan-jalan terus,, :D)

 

Ciwalk--masih tetap menyenangkan

Ciwalk–masih tetap menyenangkan

Habis dari ciwalk-langsung tancap ke- Unpar. Ini diaaaaa…. hihihi

Ini nih, bukti tak terbantahkan kalo saya 100% ikutan acara rapatnya Aptari kemaren 😀

Jiaahhh... foto-nya miring sodara-sodaraa... Tapi gak-apalah, yang penting ada saya-nya. haha :D

Jiaahhh… foto-nya miring sodara-sodaraa… Tapi gak-apalah, yang penting ada saya-nya. haha 😀

Dan akhirnyaa…. balik lagi ke hotel (belom foto hotelnya :D). Ini nih yang saya foto terakhir semalam.

Hasil perburuan hari pertama :D

Hasil perburuan hari pertama 😀

Hasil perburuan hari pertama: sale buat Bu Shirley, anak kosan, dan di kantor. Kaos titipan Dian-nya Bu Ririn. Sepatu jalan-jalan (35 rebu), dan baju. Hahahahaha 😀 😀

Mission accomplish!!

Kesimpulan: jalan-jalan sendiri? yaah.. not bad lahh… hahahah 😀

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Saya disini sekarang, bukan kebetulan

IMG_5282edit

Ketika kumohon pada Allah kekuatan
Allah memberiku kesulitan agar aku menjadi kuat
Ketika kumohon pada Allah kebijaksanaan,
Allah memberiku masalah untuk kupecahkan
Ketika kuminta kepada Allah kesejahteraan,
Allah memberiku akal untuk berfikir
Ketika kumohon pada Allah keberanian
Allah memberiku bahaya untuk kuatasi

Ketika kumohon pada Allah sebuah cinta
Allah memberiku orang-orang bermasalah untuk kutolong
Ketika kuminta pada Allah bantuan
Allah memberiku kesempatan
Aku tak pernah mendapatkan apa yang kuminta
Tapi aku menerima segala yang kubutuhkan
Doaku terjawab sudah. (dari selebaran yang saya temukan di masjid, semasa kuliah)

……………….

Ketika kerjamu tidak dihargai, maka saat itu kamu sedang belajar tentang ketulusan
Ketika usahamu dinilai tidak penting,
maka saat itu kamu sedang belajar tentang keikhlasan
Ketika hatimu terluka sangat dalam,
maka saat itu kamu sedang belajar tentang memaafkan
Ketika kamu merasa sepi dan sendiri,
maka saat itu kamu sedang belajar tentang ketangguhan
Ketika kamu harus membayar biaya yang sebenarnya tidak perlu kau tanggung,
maka saat itu kamu sedang belajar tentang kemurahan hati

Tetap semangat, tetap sabar, tetap tersenyum
Karena kamu sedang menimba ilmu di universitas kehidupan

Tuhan menaruhmu di “tempatmu” yang sekarang bukan karena kebetulan (dari novel Sepatu Dahlan)

Saya setuju dengan kalimat terakhir pada puisi di atas, Tuhan menaruhmu di “tempatmu” yang sekarang bukan karena kebetulan. Sejak dulu saya memang tak pernah percaya dengan yang namanya ‘kebetulan’. Bagi saya semua yang terjadi di dunia ini tak pernah lepas dari rencana-Nya.  Segalanya. Bahkan selembar daun bisa jatuh melayang dari pohon—juga karena rencana Tuhan.

Sebelum ini, saya tak pernah kenal nama Universitas Widya Kartika. Pun sama sekali tak pernah membayangkan akan bekerja di kota panas ini, Surabaya. Jadi kalaulah sekarang saya disini, menjadi seorang tenaga pengajar di prodi Arsitektur Universitas Widya Kartika, itu pasti bukan karena kebetulan. Tangan Allah lah yang menuntun saya ke tempat ini. Saya belum tahu mengapa. Tapi saya yakin, disinilah tempat terbaik yang dipilih-Nya untuk saya. Setidaknya hingga saat ini.

Beberapa peristiwa yang terjadi di kampus minggu-minggu terakhir ini saya rasakan sungguh menguras energi. Peristiwa-peristiwa terkait pekerjaan saya, terkait tingkah polah mahasiswa. Bukan membuat lelah fisik sesungguhnya—lebih ke lelah hati. Ketika kita diabaikan. Ketika apa yang kita usahakan sepenuh hati seolah hanya jadi sia-sia.

Kini setelah batin saya lelah bertanya, “Mengapa?” dan “Bagaimana bisa?”—setelah telinga saya lelah mendengar keluhan-keluhan yang keluar dari mulut saya sendiri, dan setelah helaan nafas panjang yang entah untuk keberapa kalinya—saya kembali teringat kedua puisi di atas. Puisi dari masa lalu yang hingga kini masih membekas di ingatan saya.

Ya, pasti bukan karena kebetulan Allah mengirim saya kesini. Kini saya tahu itu karena Dia ingin saya belajar menjadi orang yang sabar, seperti apa yang selalu saya minta dalam do’a sehabis sholat. Juga karena Dia ingin saya belajar menjadi seseorang yang tenang, yang lebih terkontrol dalam menghadapi orang lain. Bukan seseorang dengan emosi meledak-ledak seperti saat ini. Saya percaya Allah mengirim saya kesini karena Ia ingin saya menjadi orang yang tangguh, yang ikhlas dalam berbuat. Membaca kembali kedua puisi di atas membuat saya kini tahu bahwa dengan cara-Nya, sesungguhnya Allah sedang menyiapkan saya untuk menjadi pribadi yang lebih baik kedepannya. Agar saya bisa menjadi seorang dosen yang tidak hanya mampu mengajar, namun juga mendidik. Sungguh persis seperti apa yang saya minta selalu dalam do’a.

Saya memang baru setahun menjadi pengajar. Masih sangat hijau akan pengalaman. Di kampus ini Allah memberikan segala yang sedang saya butuhkan. Rekan kerja yang mendukung, mahasiswa yang menempa, dan lingkungan kerja dengan segala keberagamannya. Segala media yang semoga membuat saya mampu  belajar untuk menjadi lebih dan lebih baik lagi.

Lalu, kalau begitu apa lagi yang mesti saya keluhkan? Kini saya seharusnya tersenyum, bersyukur, dan terus belajar—karena saya sudah berada di tempat yang tepat.

Tagged , , ,

Datang!!!

This slideshow requires JavaScript.

Sudah datang!! Seperangkat kartupos yang saya pesan dari Pak Erwinthon Napitupulu (www.wastu.wordpress.com). Empat seri kartu pos karya-karya YB. Mangunwijaya. Totalnya ada 96 lembar. Sebenarnya sudah dari dua minggu lalu sih datangnya, tapi saya baru sempat menuliskannya di blog sekarang :p, tapi tak apalah..

Senang, karena gambarnya bagus-bagus. Bisa untuk inspirasi desain. Bisa untuk bahan kuliah. Senang, karena bisa membaca kalimat-kalimat inspiratif Romo Mangun yang tertulis dibalik kartu pos ini. Senang karena bisa ikut berpartisipasi dalam penggalangan dana bagi usaha pendokumentasian karya-karya Romo Mangun.

Senang!!!

Tagged ,

Arsitektur yang membumi: belajar dari Romo Mangunwijaya

Arsitektur adalah penciptaan suasana, perkawinan guna dan citra. Bukan dalam kemewahan bahan atau tinggi teknologinya letak harganya. Bahan-bahan yang sederhana justru lebih mampu mencerminkan refleksi keindahan puisinya, karena lebih bersih dari godaan maupun kepongahan (YB. Mangunwijaya, 1988;348).

Baris kalimat di atas saya temukan pada bagian akhir buku Wastu Citra. Sebuah kalimat yang semakin menambah kekaguman saya pada sosok arsitek-sastrawan-budayawan-rohaniawan terkemuka Indonesia yang menulis buku ini, Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau yang lebih akrab disapa Romo Mangun.

Dari kalimat tersebut saya jadi mengerti, mengapa Romo Mangun gigih memperjuangkan survive-nya Kampung di bantaran Kali Code, Yogyakarta.  Perjuangan yang pada akhirnya membawa beliau pada penghargaan Internasional bergengsi, “Aga Khan Award for Achitecture 1992”.  Dari kalimat tersebut pula-lah saya jadi mengerti mengapa tipikal bangunan-bangunan yang beliau rancang selalu tampak khas. Sederhana, membumi, namun bersahaja dan menampilkan identitas ke-Indonesiaan yang begitu kuat. Tipikal karya arsitektur berjati diri yang dewasa ini semakin susah ditemui di negeri kita Indonesia.

This slideshow requires JavaScript.

Romo Mangun adalah seorang budayawan. Itulah menurut saya alasan mengapa karya-karya beliau selalu sarat dengan simbol-simbol budaya dan bernilai filosofi tinggi. Mengapa karya-karya beliau selalu bermakna, bukan sekedar wadah yang terbelenggu ekonomi dan kegunaan belaka. Karya-karya beliau adalah ketika ornamen bukan hanya jadi sekedar tempelan yang mempercantik bangunan, namun sebagai bagian tak terpisahkan yang turut memperkuat citra—jiwa, nyawa bangunan tersebut.

Romo Mangun adalah seorang sastrawan. Itulah menurut saya yang membuat kebersahajaan karya-karya beliau seolah mampu berpuisi. Puisi-puisi yang mengalir indah dari kesederhanaan material, bentuk, dan setiap detail arsitektural yang tercipta. Puisi-puisi yang mengalir dari keselarasan setiap detail desainnya dengan alam. Lantunan puisi yang menceritakan makna dan tujuan dibalik proses perancangannya.

Romo Mangun adalah seorang pemerhati ‘wong cilik’ yang konsisten. Beliau berarsitektur untuk memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar. Itulah mengapa beliau lebih banyak mengarsiteki bangunan-bangunan pendidikan, juga rumah peribadatan. Bukan karena tak mampu menjadi komersil. Namun karena beliau lebih memilih kebermanfaatan yang tanpa pamrih.

Romo Mangun adalah seorang jenius multi-dimensi yang selalu total—tidak pernah setengah-setengah dalam berkarya. Sebagai sastrawan-budayawan, prestasi beliau telah membuahkan penghargaan sastra se-Asia Tenggara Ramon Magsaysay pada tahun 1996 (wikipedia).  Beliau juga adalah orang Indonesia kedua setelah Goenawan Mohammad yang mendapat penghargaan The Professor Teeuw Award di Leiden, Belanda untuk bidang susastra dan kepedulian terhadap masyarakat (biokristi.sabda.org). Dalam bidang keagamaan, beliau adalah seorang rohaniawan yang tak diragukan lagi dedikasinya pada Tuhan—juga pada kemanusiaan.  Dalam bidang arsitektur, berbagai bangunan yang telah beliau rancang telah menunjukkan konsistensinya untuk menghasilkan karya-karya yang beridentitas arsitektur Indonesia. Filosofi beliau dalam berkarya sudah seharusnya menjadi panutan bagi arsitek-arsitek di Indonesia. Kesederhanaannya, keselarasannya dengan lingkungan, dan apresiasinya yang begitu besar pada budaya lokal, itulah yang membuat karya-karya beliau selalu tampak ‘menjejak bumi’—sesuai dengan konteks dimana ia berdiri.

Betapa ingin saya mengunjungi seluruh karya-karya beliau. Meresapi maknanya, menikmati pengalaman ruangnya, mereguk hikmahnya.  Sebuah pengalaman yang saya yakin akan memberikan inspirasi luar biasa.

Semoga ada kesempatan…

REFERENSI

Istanto, F. H. (1999). ARSITEKTUR “GUNA DAN CITRA” SANG ROMO MANGUN. Dimensi Teknik Arsitektur, 27(2), 40-47.

Kurnia, R.S. Y.B Mangunwijaya. http://biokristi.sabda.org/selayang_pandang_y_b_mangunwijaya. diakses pada 24 Mei 2013

Mangunwijaya, Y. B. (1989). Wastu citra: pengantar ke ilmu budaya bentuk arsitektur, sendi-sendi filsafatnya, beserta contoh-contoh praktis. PT Gramedia Pustaka Utama.

Napitipulu, Erwinthon. Wastu Citra dan Citra Wastu Y.B Mangunwijaya, Pengantar Buku Wastu Citra terbitan Baru

Setyoningrum, Y. (2012). Analysis of Architecture Aesthetic Image as a Medium for Cultural Inculturation in Catholic Church (Case Study: Maria Assumpta Church in Klaten designed by YB Mangunwijaya). Ambiance, 1(1).

Sumber gambar dari:  Seri kartupos karya-karya Y.B Mangunwijaya, kreasi Erwinthon Napitupulu, www.wastu.wordpress.com

Tagged , , ,

Malangku ijo ruko-ruko—dan, Thomas Karsten-pun menangis

Apa yang terlintas di benakmu saat mendengar nama kota Malang disebut?  “Mmm… sejuk, dingin, indah.”

“Yakin??”

Hmm..  jawaban di atas mungkin benar jika ditanyakan lebih dari 10 tahun kebelakang. Namun melihat wajah kota Malang saat ini rasanya jawaban tersebut sudah tak relevan lagi.

Saat ini rasanya Malang lebih identik dengan ruko.

Ya, menurut saya tak berlebihan jika kini dikatakan Malang identik dengan ruko.  Jajaran rumah-toko tampak kian mendominasi fungsi bangunan di sepanjang jalan kota Malang. Dari Tlogomas, Dinoyo, Sumbersari, hingga Sulfat dan Sawojajar yang tampak hanya deretan ruko.  Gara-gara ruko wajah Malang kini makin berwarna— dalam arti yang sesungguhnya. Merah, kuning, hijau, biru, ungu. Sungguh khas komersialisasi ruko.

Lalu apa lagi selain ruko?

Menurut saya saat ini rasanya Malang semakin identik dengan macet.

 Ya, macet. Belum separah Jakarta atau Bandung memang. Tapi lihatlah jalanan kota Malang–pagi hari saat orang-orang berangkat kerja, saat anak-anak berangkat ke sekolah.  Lihatlah di siang atau sore hari, saat jam-jam pulang sekolah dan pulang kerja. Coba rasakan sensasi berkendara di malam minggu—saat muda-mudi berangkat berkencan.  Atau cobalah ke luar rumah saat long weekend , niscaya anda akan disambut oleh barisan panjang kendaraan—yang hampir semua bergerak ke arah Batu.

Malang itu macet—pasti anda akan percaya.

Begitulah kira-kira Malang saat ini.

Mengapa demikian? Bagaimana bisa?

Menurut saya salah satu jawabannya adalah karena ekonomi Malang semakin maju.

Ya, karena ekonomi Malang kini semakin maju. Tidak percaya? Lihatlah kampus-kampus besar di kota Malang—dengan jumlah mahasiswanya yang kian hari kian bertambah banyak. Mahasiswa-mahasiswa—pangsa pasar menggiurkan yang secara tidak langsung turut mempengaruhi perubahan wajah kota ini. Perhatikan, bahwa betapa kini rumah-rumah di pinggir jalan satu demi satu telah beralih fungsi, menjadi rumah kos, toko, mini-market, mall, juga lagi-lagi ruko. Perhatikan bagaimana kian menjamurnya pembangunan perumahan di kota ini. Lahan-lahan kosong satu-per-satu dijual, dan developer-developer seolah berlomba membangun perumahan juga tentu saja (lagi-lagi) ruko. Bukan itu saja, jangan lupakan jalanan kota ini yang kian padat disesaki kendaraan bermotor.

Segala perubahan tersebut secara tidak langsung menunjukkan dengan sangat nyata betapa pesatnya pertumbuhan ekonomi di kota ini. Pesatnya pertumbuhan ekonomi yang sayangnya tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas lingkungan kotanya. Pertumbuhan ekonomi—entah ekonomi siapa—yang sayangnya terus-menerus menggerogoti kota tanpa peduli jeritan lingkungan yang telah kehilangan keseimbangannya.

Lalu kini apa yang tersisa untuk Malang?

Kini jika ditanya, “Julukan Malang sekarang apa?”  Saya sungguh bingung menjawabnya.  Malang kini kota apa ya? Katanya kota pendidikan. Tapi mengapa di tengah area pendidikan justru berdiri mall-mall dan ruko?  Katanya kota bunga. Lalu dimana lagi area hijau yang dapat dinikmati masyarakat dengan bebas?  Katanya kota sejuk dan dingin. Lalu mengapa di siang hari yang tersisa hanyalah panas terik lengkap dengan deretan panjang kendaraan bermotor—penuh polusi yang menyesakkan paru-paru?  Maraknya pembangunan perumahan, ruko, dan juga mall telah  berakibat pada semakin berkurangnya luas lahan tak tertutup perkerasan di kota ini. Tanpa perencanaan drainase terpadu—meninggalkan banjir yang kini mengancam tiap musim hujan tiba.  Malang yang terletak di dataran tinggi kini banjir.

Itukah yang kini tersisa untuk kota saya tercinta?

Miris.

This slideshow requires JavaScript.

Kalau Thomas Karsten melihat Malang kini, saya berani bertaruh dia akan menangis.

Masih ingat Ir. Herman Thomas Karsten kan? Benar, ia arsitek dan perencana kota yang merencanakan tata kota beberapa kota besar di Indonesia pada masa kolonial, diantaranya Malang, Bandung, dan Semarang.

Malang dianugerahi Ilahi kondisi geografis yang istimewa.  Letaknya yang berada di dataran tinggi dikelilingi gunung-gunung membuat Malang menjadi satu-satunya kota berhawa sejuk di Jawa Timur yang dikelilingi pemandangan indah. Tak hanya itu, keberadaan sungai Brantas yang melintas membelah kota menjadi sebuah mata air tersendiri selain menambah cantiknya kota. Karsten melihat potensi tersebut, dan menjadikannya pertimbangan utama dalam merancang tata kota Malang. Bukan itu saja, jaringan jalan, pembagian fungsi wilayah, desain dan penempatan bangunan, taman dan ruang terbuka, serta segala detail-detail perancangan kota lainnya direncanakan Karsten dengan seksama hingga membentuk sebuah serial vista–wajah kota yang indah, berkarakter, dan juga nyaman ditempati. Hasil perancangannya telah sukses menjadikan Malang sebagai kota peristirahatan favorit bangsa Eropa di Jawa Timur. Juga membuat Malang terkenal dengan julukan Paris Van East Java dan Switzerland of Indonesia (Malang plus, 2009).

Bagi Karsten, keindahan kota memiliki tempat utama dalam perancangan.

 Keindahan kota bukan perhiasan kota dan bukan suatu yang ditambahkan oleh manusia. Tapi keindahan kota harus mengalir dengan sendirinya dari penanganan secara keseluruhan dan terlihat dari bagian-bagian detailnya. Keindahan harus memperoleh tempat yang utama dalam setiap detail yang dikerjakan. Hal-hal yang menentukan keindahan kota bisa tercermin dalam penataan perumahan/gedung, maupun dalam pembangunan jalannya, hirarki adalah hal yang perlu diperhatikan, apakah itu gedung, jalan atau taman, mana yang memperoleh tekanan yang lebih besar. Pemandangan yang sederhana bisa dibiarkan sederhana, namun dibuat menarik. Karsten (1935:59) dalam Handinoto (1996)

…. jalan-jalan tersebut tidak sekedar hanya memenuhi persyaratan material, tapi juga harus memenuhi tuntutan keindahan kota. Bukankah keindahan kota itu terutama dinikmati dari sudut jalan?  Jalan-jalan haruslah berirama, diatur dengan sumbu jalan, dan harus diberikan titik-titik klimaks dan sebagainya. Irama tersebut meningkatkan daya orientasi. Hal-hal tersebut merupakan ciri sebuah kota yang indah dimana nilai keindahan bukan hanya diukur dengan keindahan pemandangan saja (Thomas Karsten dalam Handinoto, 1996)

Sebuah pemikiran bijaksana dari seorang urban desainer.  Herman Thomas Karsten.

This slideshow requires JavaScript.

Boulevard ijen dan segmen jalan dari alun-alun bunder ke stasiun, dua dari sekian banyak karya Karsten yang hingga kini masih mampu menunjukkan karakter khas arsitektur kota Malang. Sayangnya semakin banyak bangunan-bangunan bergaya kolonial—aset-aset kota ini yang kini dipugar. Bukan untuk dibangun kembali sesuai aslinya, namun justru dirombak habis-habisan. Kawasan alun-alun kota, Kayutangan, dan villa-villa megah di Ijen adalah beberapa diantara sekian banyak korbannya. Saya tak mengerti mengapa Pemerintah Kota mengijinkannya. Mengijinkan aset-aset kota—pembentuk citra kota ini dihancurkan.

Malang telah kehilangan begitu banyak. Dan itu membuatnya semakin jauh tertinggal dari ‘adik kecilnya’, Batu.

Sungguh sayang. Begitulah jadinya, jika perencanaan kota hanya berkiblat pada uang—juga kepentingan pribadi. Kapitalisme ekonomi, yang sesungguhnya hanya menguntungkan segelintir pihak saja.  Boleh saja disangkal, namun degradasi lingkungan dan wajah kota Malang yang kini tanpa karakter telah membuktikannya lebih dari ribuan kata-kata. Semua orang bisa melihat. Semua orang bisa merasakan. Semua orang bisa menilai sendiri.

Tanggal 23 Mei 2013 nanti kota Malang akan berpesta. Pemilihan Walikota dan Wawali yang baru. Gegap gempitanya sudah terasa dan terlihat dari semakin banyaknya spanduk, baliho, dan segala atribut kampanye yang telah bertengger ‘meramaikan’ wajah kota sejak beberapa bulan lalu. Siapapun yang nantinya terpilih, saya berharap ia adalah sosok yang menghargai dan mencintai masyarakat juga lingkungan kotanya lebih dari gelimangan rupiah. Sosok yang akan menjadi the new  ‘Thomas Karsten’ yang mampu memperbaiki carut-marut wajah kota Malang kini, dan menunjukkan kembali karakter kotanya.

Ah… betapa rindu saya pada dingin dan nyamannya kota Malang dulu…

PUSTAKA

Handinoto, (1996), Perkembangan Kota Malang Pada Jaman Kolonial (1914-1940), Dimensi Arsitektur 22, Agustus 1996,  http://fportfolio.petra.ac.id/user_files/81-005/KOTA%20MALANG.pdf, diakses pada 4 Desember 2012

Malang plus, (2009), Switzerland of Indonesia, http://www.jongjava.com/web/news/1-malang-plus/355-switzerland-of-indonesia, diakses pada 15 Mei 2013

Foto-foto kota Malang tempo dulu, dari berbagai sumber di google image

Tagged , , , ,

pasukan berbulu di sekitar saya

 

This slideshow requires JavaScript.

jadi ini dia ke-delapan meongnya… ceritanya ntar ya.. ini mesti ke kampus 😀 😀 😀

tekan ENTER bukan ENTAR!

entar

Apa jadinya, jika satu huruf “e” pada tombol enter—tombol pengakhir eksekusi perintah di keyboard komputer kita berubah jadi huruf “a” ?

Enter berubah jadi entar

Tampak sepele, hanya satu huruf tapi dampaknya luar biasa.

Kacau

Gara-gara tak sengaja menemukan gambar di atas, saya jadi tergelitik untuk membuat postingan ini. Satu postingan tidak penting—lagi-lagi 😀

Saya jadi teringat penyakit lama. Penyakit kronis yang masih sering kambuhan bahkan sampai saat ini.

Penyakit itu namanya ‘penyakit entar’

Entar ah, nonton film dulu—dan kian hari semakin panjang daftar ‘things to do’ yang tertambahkan

Entar ah, game dulu—dan setumpuk rencana yang sudah tersusun tinggallah rencana

Entar ah, youtube dulu, browsing dulu, blog dulu, ini dulu, itu dulu—dan ujung-ujungnya: no progress

Entar ah, tidur dulu—dan setumpuk prioritas yang telah tersusun, terkalahkan seiring terpejamnya mata

Entar—sebuah ekspresi yang meremehkan waktu. “Ah, deadline masih lama, tenang aja”

Entar—sebuah ekspresi menyesatkan yang seringkali datang atas nama mood yang belum jua muncul

Entar—sebuah ekspresi melenakan, yang tanpa sadar membunuh perlahan-lahan

Entar—sesungguhnya hanya menyuguhkan kesenangan semu, menunda ketenangan dan lega hati sejati

“Bersenang-senang dahulu, panik dan lembur kemudian”

Tekan satu tombol: Entar—dan mimpi-mimpi tetap kan jadi bunga tidur, berhibernasi, tanpa tahu jelas kapan akan terwujud

Lalu, sudah tahu gitu kok masih entar-entar…

Sampai kapan mau begini?

Saya tidak mau terus begini!

Ah.. sepertinya keyboard di otak saya harus diperiksa, jangan-jangan enter-nya benar-benar sudah berubah jadi entar.

Gawat

 

gambar di ambil dari sini
Tagged ,