Apa yang terlintas di benakmu saat mendengar nama kota Malang disebut? “Mmm… sejuk, dingin, indah.”
“Yakin??”
Hmm.. jawaban di atas mungkin benar jika ditanyakan lebih dari 10 tahun kebelakang. Namun melihat wajah kota Malang saat ini rasanya jawaban tersebut sudah tak relevan lagi.
Saat ini rasanya Malang lebih identik dengan ruko.
Ya, menurut saya tak berlebihan jika kini dikatakan Malang identik dengan ruko. Jajaran rumah-toko tampak kian mendominasi fungsi bangunan di sepanjang jalan kota Malang. Dari Tlogomas, Dinoyo, Sumbersari, hingga Sulfat dan Sawojajar yang tampak hanya deretan ruko. Gara-gara ruko wajah Malang kini makin berwarna— dalam arti yang sesungguhnya. Merah, kuning, hijau, biru, ungu. Sungguh khas komersialisasi ruko.
Lalu apa lagi selain ruko?
Menurut saya saat ini rasanya Malang semakin identik dengan macet.
Ya, macet. Belum separah Jakarta atau Bandung memang. Tapi lihatlah jalanan kota Malang–pagi hari saat orang-orang berangkat kerja, saat anak-anak berangkat ke sekolah. Lihatlah di siang atau sore hari, saat jam-jam pulang sekolah dan pulang kerja. Coba rasakan sensasi berkendara di malam minggu—saat muda-mudi berangkat berkencan. Atau cobalah ke luar rumah saat long weekend , niscaya anda akan disambut oleh barisan panjang kendaraan—yang hampir semua bergerak ke arah Batu.
Malang itu macet—pasti anda akan percaya.
Begitulah kira-kira Malang saat ini.
Mengapa demikian? Bagaimana bisa?
Menurut saya salah satu jawabannya adalah karena ekonomi Malang semakin maju.
Ya, karena ekonomi Malang kini semakin maju. Tidak percaya? Lihatlah kampus-kampus besar di kota Malang—dengan jumlah mahasiswanya yang kian hari kian bertambah banyak. Mahasiswa-mahasiswa—pangsa pasar menggiurkan yang secara tidak langsung turut mempengaruhi perubahan wajah kota ini. Perhatikan, bahwa betapa kini rumah-rumah di pinggir jalan satu demi satu telah beralih fungsi, menjadi rumah kos, toko, mini-market, mall, juga lagi-lagi ruko. Perhatikan bagaimana kian menjamurnya pembangunan perumahan di kota ini. Lahan-lahan kosong satu-per-satu dijual, dan developer-developer seolah berlomba membangun perumahan juga tentu saja (lagi-lagi) ruko. Bukan itu saja, jangan lupakan jalanan kota ini yang kian padat disesaki kendaraan bermotor.
Segala perubahan tersebut secara tidak langsung menunjukkan dengan sangat nyata betapa pesatnya pertumbuhan ekonomi di kota ini. Pesatnya pertumbuhan ekonomi yang sayangnya tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas lingkungan kotanya. Pertumbuhan ekonomi—entah ekonomi siapa—yang sayangnya terus-menerus menggerogoti kota tanpa peduli jeritan lingkungan yang telah kehilangan keseimbangannya.
Lalu kini apa yang tersisa untuk Malang?
Kini jika ditanya, “Julukan Malang sekarang apa?” Saya sungguh bingung menjawabnya. Malang kini kota apa ya? Katanya kota pendidikan. Tapi mengapa di tengah area pendidikan justru berdiri mall-mall dan ruko? Katanya kota bunga. Lalu dimana lagi area hijau yang dapat dinikmati masyarakat dengan bebas? Katanya kota sejuk dan dingin. Lalu mengapa di siang hari yang tersisa hanyalah panas terik lengkap dengan deretan panjang kendaraan bermotor—penuh polusi yang menyesakkan paru-paru? Maraknya pembangunan perumahan, ruko, dan juga mall telah berakibat pada semakin berkurangnya luas lahan tak tertutup perkerasan di kota ini. Tanpa perencanaan drainase terpadu—meninggalkan banjir yang kini mengancam tiap musim hujan tiba. Malang yang terletak di dataran tinggi kini banjir.
Itukah yang kini tersisa untuk kota saya tercinta?
Miris.
This slideshow requires JavaScript.
Kalau Thomas Karsten melihat Malang kini, saya berani bertaruh dia akan menangis.
Masih ingat Ir. Herman Thomas Karsten kan? Benar, ia arsitek dan perencana kota yang merencanakan tata kota beberapa kota besar di Indonesia pada masa kolonial, diantaranya Malang, Bandung, dan Semarang.
Malang dianugerahi Ilahi kondisi geografis yang istimewa. Letaknya yang berada di dataran tinggi dikelilingi gunung-gunung membuat Malang menjadi satu-satunya kota berhawa sejuk di Jawa Timur yang dikelilingi pemandangan indah. Tak hanya itu, keberadaan sungai Brantas yang melintas membelah kota menjadi sebuah mata air tersendiri selain menambah cantiknya kota. Karsten melihat potensi tersebut, dan menjadikannya pertimbangan utama dalam merancang tata kota Malang. Bukan itu saja, jaringan jalan, pembagian fungsi wilayah, desain dan penempatan bangunan, taman dan ruang terbuka, serta segala detail-detail perancangan kota lainnya direncanakan Karsten dengan seksama hingga membentuk sebuah serial vista–wajah kota yang indah, berkarakter, dan juga nyaman ditempati. Hasil perancangannya telah sukses menjadikan Malang sebagai kota peristirahatan favorit bangsa Eropa di Jawa Timur. Juga membuat Malang terkenal dengan julukan Paris Van East Java dan Switzerland of Indonesia (Malang plus, 2009).
Bagi Karsten, keindahan kota memiliki tempat utama dalam perancangan.
Keindahan kota bukan perhiasan kota dan bukan suatu yang ditambahkan oleh manusia. Tapi keindahan kota harus mengalir dengan sendirinya dari penanganan secara keseluruhan dan terlihat dari bagian-bagian detailnya. Keindahan harus memperoleh tempat yang utama dalam setiap detail yang dikerjakan. Hal-hal yang menentukan keindahan kota bisa tercermin dalam penataan perumahan/gedung, maupun dalam pembangunan jalannya, hirarki adalah hal yang perlu diperhatikan, apakah itu gedung, jalan atau taman, mana yang memperoleh tekanan yang lebih besar. Pemandangan yang sederhana bisa dibiarkan sederhana, namun dibuat menarik. Karsten (1935:59) dalam Handinoto (1996)
…. jalan-jalan tersebut tidak sekedar hanya memenuhi persyaratan material, tapi juga harus memenuhi tuntutan keindahan kota. Bukankah keindahan kota itu terutama dinikmati dari sudut jalan? Jalan-jalan haruslah berirama, diatur dengan sumbu jalan, dan harus diberikan titik-titik klimaks dan sebagainya. Irama tersebut meningkatkan daya orientasi. Hal-hal tersebut merupakan ciri sebuah kota yang indah dimana nilai keindahan bukan hanya diukur dengan keindahan pemandangan saja (Thomas Karsten dalam Handinoto, 1996)
Sebuah pemikiran bijaksana dari seorang urban desainer. Herman Thomas Karsten.
This slideshow requires JavaScript.
Boulevard ijen dan segmen jalan dari alun-alun bunder ke stasiun, dua dari sekian banyak karya Karsten yang hingga kini masih mampu menunjukkan karakter khas arsitektur kota Malang. Sayangnya semakin banyak bangunan-bangunan bergaya kolonial—aset-aset kota ini yang kini dipugar. Bukan untuk dibangun kembali sesuai aslinya, namun justru dirombak habis-habisan. Kawasan alun-alun kota, Kayutangan, dan villa-villa megah di Ijen adalah beberapa diantara sekian banyak korbannya. Saya tak mengerti mengapa Pemerintah Kota mengijinkannya. Mengijinkan aset-aset kota—pembentuk citra kota ini dihancurkan.
Malang telah kehilangan begitu banyak. Dan itu membuatnya semakin jauh tertinggal dari ‘adik kecilnya’, Batu.
Sungguh sayang. Begitulah jadinya, jika perencanaan kota hanya berkiblat pada uang—juga kepentingan pribadi. Kapitalisme ekonomi, yang sesungguhnya hanya menguntungkan segelintir pihak saja. Boleh saja disangkal, namun degradasi lingkungan dan wajah kota Malang yang kini tanpa karakter telah membuktikannya lebih dari ribuan kata-kata. Semua orang bisa melihat. Semua orang bisa merasakan. Semua orang bisa menilai sendiri.
Tanggal 23 Mei 2013 nanti kota Malang akan berpesta. Pemilihan Walikota dan Wawali yang baru. Gegap gempitanya sudah terasa dan terlihat dari semakin banyaknya spanduk, baliho, dan segala atribut kampanye yang telah bertengger ‘meramaikan’ wajah kota sejak beberapa bulan lalu. Siapapun yang nantinya terpilih, saya berharap ia adalah sosok yang menghargai dan mencintai masyarakat juga lingkungan kotanya lebih dari gelimangan rupiah. Sosok yang akan menjadi the new ‘Thomas Karsten’ yang mampu memperbaiki carut-marut wajah kota Malang kini, dan menunjukkan kembali karakter kotanya.
Ah… betapa rindu saya pada dingin dan nyamannya kota Malang dulu…
PUSTAKA
Handinoto, (1996), Perkembangan Kota Malang Pada Jaman Kolonial (1914-1940), Dimensi Arsitektur 22, Agustus 1996, http://fportfolio.petra.ac.id/user_files/81-005/KOTA%20MALANG.pdf, diakses pada 4 Desember 2012
Malang plus, (2009), Switzerland of Indonesia, http://www.jongjava.com/web/news/1-malang-plus/355-switzerland-of-indonesia, diakses pada 15 Mei 2013
Foto-foto kota Malang tempo dulu, dari berbagai sumber di google image