Category Archives: Arsitektur

Datang!!!

This slideshow requires JavaScript.

Sudah datang!! Seperangkat kartupos yang saya pesan dari Pak Erwinthon Napitupulu (www.wastu.wordpress.com). Empat seri kartu pos karya-karya YB. Mangunwijaya. Totalnya ada 96 lembar. Sebenarnya sudah dari dua minggu lalu sih datangnya, tapi saya baru sempat menuliskannya di blog sekarang :p, tapi tak apalah..

Senang, karena gambarnya bagus-bagus. Bisa untuk inspirasi desain. Bisa untuk bahan kuliah. Senang, karena bisa membaca kalimat-kalimat inspiratif Romo Mangun yang tertulis dibalik kartu pos ini. Senang karena bisa ikut berpartisipasi dalam penggalangan dana bagi usaha pendokumentasian karya-karya Romo Mangun.

Senang!!!

Tagged ,

Arsitektur yang membumi: belajar dari Romo Mangunwijaya

Arsitektur adalah penciptaan suasana, perkawinan guna dan citra. Bukan dalam kemewahan bahan atau tinggi teknologinya letak harganya. Bahan-bahan yang sederhana justru lebih mampu mencerminkan refleksi keindahan puisinya, karena lebih bersih dari godaan maupun kepongahan (YB. Mangunwijaya, 1988;348).

Baris kalimat di atas saya temukan pada bagian akhir buku Wastu Citra. Sebuah kalimat yang semakin menambah kekaguman saya pada sosok arsitek-sastrawan-budayawan-rohaniawan terkemuka Indonesia yang menulis buku ini, Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau yang lebih akrab disapa Romo Mangun.

Dari kalimat tersebut saya jadi mengerti, mengapa Romo Mangun gigih memperjuangkan survive-nya Kampung di bantaran Kali Code, Yogyakarta.  Perjuangan yang pada akhirnya membawa beliau pada penghargaan Internasional bergengsi, “Aga Khan Award for Achitecture 1992”.  Dari kalimat tersebut pula-lah saya jadi mengerti mengapa tipikal bangunan-bangunan yang beliau rancang selalu tampak khas. Sederhana, membumi, namun bersahaja dan menampilkan identitas ke-Indonesiaan yang begitu kuat. Tipikal karya arsitektur berjati diri yang dewasa ini semakin susah ditemui di negeri kita Indonesia.

This slideshow requires JavaScript.

Romo Mangun adalah seorang budayawan. Itulah menurut saya alasan mengapa karya-karya beliau selalu sarat dengan simbol-simbol budaya dan bernilai filosofi tinggi. Mengapa karya-karya beliau selalu bermakna, bukan sekedar wadah yang terbelenggu ekonomi dan kegunaan belaka. Karya-karya beliau adalah ketika ornamen bukan hanya jadi sekedar tempelan yang mempercantik bangunan, namun sebagai bagian tak terpisahkan yang turut memperkuat citra—jiwa, nyawa bangunan tersebut.

Romo Mangun adalah seorang sastrawan. Itulah menurut saya yang membuat kebersahajaan karya-karya beliau seolah mampu berpuisi. Puisi-puisi yang mengalir indah dari kesederhanaan material, bentuk, dan setiap detail arsitektural yang tercipta. Puisi-puisi yang mengalir dari keselarasan setiap detail desainnya dengan alam. Lantunan puisi yang menceritakan makna dan tujuan dibalik proses perancangannya.

Romo Mangun adalah seorang pemerhati ‘wong cilik’ yang konsisten. Beliau berarsitektur untuk memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar. Itulah mengapa beliau lebih banyak mengarsiteki bangunan-bangunan pendidikan, juga rumah peribadatan. Bukan karena tak mampu menjadi komersil. Namun karena beliau lebih memilih kebermanfaatan yang tanpa pamrih.

Romo Mangun adalah seorang jenius multi-dimensi yang selalu total—tidak pernah setengah-setengah dalam berkarya. Sebagai sastrawan-budayawan, prestasi beliau telah membuahkan penghargaan sastra se-Asia Tenggara Ramon Magsaysay pada tahun 1996 (wikipedia).  Beliau juga adalah orang Indonesia kedua setelah Goenawan Mohammad yang mendapat penghargaan The Professor Teeuw Award di Leiden, Belanda untuk bidang susastra dan kepedulian terhadap masyarakat (biokristi.sabda.org). Dalam bidang keagamaan, beliau adalah seorang rohaniawan yang tak diragukan lagi dedikasinya pada Tuhan—juga pada kemanusiaan.  Dalam bidang arsitektur, berbagai bangunan yang telah beliau rancang telah menunjukkan konsistensinya untuk menghasilkan karya-karya yang beridentitas arsitektur Indonesia. Filosofi beliau dalam berkarya sudah seharusnya menjadi panutan bagi arsitek-arsitek di Indonesia. Kesederhanaannya, keselarasannya dengan lingkungan, dan apresiasinya yang begitu besar pada budaya lokal, itulah yang membuat karya-karya beliau selalu tampak ‘menjejak bumi’—sesuai dengan konteks dimana ia berdiri.

Betapa ingin saya mengunjungi seluruh karya-karya beliau. Meresapi maknanya, menikmati pengalaman ruangnya, mereguk hikmahnya.  Sebuah pengalaman yang saya yakin akan memberikan inspirasi luar biasa.

Semoga ada kesempatan…

REFERENSI

Istanto, F. H. (1999). ARSITEKTUR “GUNA DAN CITRA” SANG ROMO MANGUN. Dimensi Teknik Arsitektur, 27(2), 40-47.

Kurnia, R.S. Y.B Mangunwijaya. http://biokristi.sabda.org/selayang_pandang_y_b_mangunwijaya. diakses pada 24 Mei 2013

Mangunwijaya, Y. B. (1989). Wastu citra: pengantar ke ilmu budaya bentuk arsitektur, sendi-sendi filsafatnya, beserta contoh-contoh praktis. PT Gramedia Pustaka Utama.

Napitipulu, Erwinthon. Wastu Citra dan Citra Wastu Y.B Mangunwijaya, Pengantar Buku Wastu Citra terbitan Baru

Setyoningrum, Y. (2012). Analysis of Architecture Aesthetic Image as a Medium for Cultural Inculturation in Catholic Church (Case Study: Maria Assumpta Church in Klaten designed by YB Mangunwijaya). Ambiance, 1(1).

Sumber gambar dari:  Seri kartupos karya-karya Y.B Mangunwijaya, kreasi Erwinthon Napitupulu, www.wastu.wordpress.com

Tagged , , ,

Malangku ijo ruko-ruko—dan, Thomas Karsten-pun menangis

Apa yang terlintas di benakmu saat mendengar nama kota Malang disebut?  “Mmm… sejuk, dingin, indah.”

“Yakin??”

Hmm..  jawaban di atas mungkin benar jika ditanyakan lebih dari 10 tahun kebelakang. Namun melihat wajah kota Malang saat ini rasanya jawaban tersebut sudah tak relevan lagi.

Saat ini rasanya Malang lebih identik dengan ruko.

Ya, menurut saya tak berlebihan jika kini dikatakan Malang identik dengan ruko.  Jajaran rumah-toko tampak kian mendominasi fungsi bangunan di sepanjang jalan kota Malang. Dari Tlogomas, Dinoyo, Sumbersari, hingga Sulfat dan Sawojajar yang tampak hanya deretan ruko.  Gara-gara ruko wajah Malang kini makin berwarna— dalam arti yang sesungguhnya. Merah, kuning, hijau, biru, ungu. Sungguh khas komersialisasi ruko.

Lalu apa lagi selain ruko?

Menurut saya saat ini rasanya Malang semakin identik dengan macet.

 Ya, macet. Belum separah Jakarta atau Bandung memang. Tapi lihatlah jalanan kota Malang–pagi hari saat orang-orang berangkat kerja, saat anak-anak berangkat ke sekolah.  Lihatlah di siang atau sore hari, saat jam-jam pulang sekolah dan pulang kerja. Coba rasakan sensasi berkendara di malam minggu—saat muda-mudi berangkat berkencan.  Atau cobalah ke luar rumah saat long weekend , niscaya anda akan disambut oleh barisan panjang kendaraan—yang hampir semua bergerak ke arah Batu.

Malang itu macet—pasti anda akan percaya.

Begitulah kira-kira Malang saat ini.

Mengapa demikian? Bagaimana bisa?

Menurut saya salah satu jawabannya adalah karena ekonomi Malang semakin maju.

Ya, karena ekonomi Malang kini semakin maju. Tidak percaya? Lihatlah kampus-kampus besar di kota Malang—dengan jumlah mahasiswanya yang kian hari kian bertambah banyak. Mahasiswa-mahasiswa—pangsa pasar menggiurkan yang secara tidak langsung turut mempengaruhi perubahan wajah kota ini. Perhatikan, bahwa betapa kini rumah-rumah di pinggir jalan satu demi satu telah beralih fungsi, menjadi rumah kos, toko, mini-market, mall, juga lagi-lagi ruko. Perhatikan bagaimana kian menjamurnya pembangunan perumahan di kota ini. Lahan-lahan kosong satu-per-satu dijual, dan developer-developer seolah berlomba membangun perumahan juga tentu saja (lagi-lagi) ruko. Bukan itu saja, jangan lupakan jalanan kota ini yang kian padat disesaki kendaraan bermotor.

Segala perubahan tersebut secara tidak langsung menunjukkan dengan sangat nyata betapa pesatnya pertumbuhan ekonomi di kota ini. Pesatnya pertumbuhan ekonomi yang sayangnya tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas lingkungan kotanya. Pertumbuhan ekonomi—entah ekonomi siapa—yang sayangnya terus-menerus menggerogoti kota tanpa peduli jeritan lingkungan yang telah kehilangan keseimbangannya.

Lalu kini apa yang tersisa untuk Malang?

Kini jika ditanya, “Julukan Malang sekarang apa?”  Saya sungguh bingung menjawabnya.  Malang kini kota apa ya? Katanya kota pendidikan. Tapi mengapa di tengah area pendidikan justru berdiri mall-mall dan ruko?  Katanya kota bunga. Lalu dimana lagi area hijau yang dapat dinikmati masyarakat dengan bebas?  Katanya kota sejuk dan dingin. Lalu mengapa di siang hari yang tersisa hanyalah panas terik lengkap dengan deretan panjang kendaraan bermotor—penuh polusi yang menyesakkan paru-paru?  Maraknya pembangunan perumahan, ruko, dan juga mall telah  berakibat pada semakin berkurangnya luas lahan tak tertutup perkerasan di kota ini. Tanpa perencanaan drainase terpadu—meninggalkan banjir yang kini mengancam tiap musim hujan tiba.  Malang yang terletak di dataran tinggi kini banjir.

Itukah yang kini tersisa untuk kota saya tercinta?

Miris.

This slideshow requires JavaScript.

Kalau Thomas Karsten melihat Malang kini, saya berani bertaruh dia akan menangis.

Masih ingat Ir. Herman Thomas Karsten kan? Benar, ia arsitek dan perencana kota yang merencanakan tata kota beberapa kota besar di Indonesia pada masa kolonial, diantaranya Malang, Bandung, dan Semarang.

Malang dianugerahi Ilahi kondisi geografis yang istimewa.  Letaknya yang berada di dataran tinggi dikelilingi gunung-gunung membuat Malang menjadi satu-satunya kota berhawa sejuk di Jawa Timur yang dikelilingi pemandangan indah. Tak hanya itu, keberadaan sungai Brantas yang melintas membelah kota menjadi sebuah mata air tersendiri selain menambah cantiknya kota. Karsten melihat potensi tersebut, dan menjadikannya pertimbangan utama dalam merancang tata kota Malang. Bukan itu saja, jaringan jalan, pembagian fungsi wilayah, desain dan penempatan bangunan, taman dan ruang terbuka, serta segala detail-detail perancangan kota lainnya direncanakan Karsten dengan seksama hingga membentuk sebuah serial vista–wajah kota yang indah, berkarakter, dan juga nyaman ditempati. Hasil perancangannya telah sukses menjadikan Malang sebagai kota peristirahatan favorit bangsa Eropa di Jawa Timur. Juga membuat Malang terkenal dengan julukan Paris Van East Java dan Switzerland of Indonesia (Malang plus, 2009).

Bagi Karsten, keindahan kota memiliki tempat utama dalam perancangan.

 Keindahan kota bukan perhiasan kota dan bukan suatu yang ditambahkan oleh manusia. Tapi keindahan kota harus mengalir dengan sendirinya dari penanganan secara keseluruhan dan terlihat dari bagian-bagian detailnya. Keindahan harus memperoleh tempat yang utama dalam setiap detail yang dikerjakan. Hal-hal yang menentukan keindahan kota bisa tercermin dalam penataan perumahan/gedung, maupun dalam pembangunan jalannya, hirarki adalah hal yang perlu diperhatikan, apakah itu gedung, jalan atau taman, mana yang memperoleh tekanan yang lebih besar. Pemandangan yang sederhana bisa dibiarkan sederhana, namun dibuat menarik. Karsten (1935:59) dalam Handinoto (1996)

…. jalan-jalan tersebut tidak sekedar hanya memenuhi persyaratan material, tapi juga harus memenuhi tuntutan keindahan kota. Bukankah keindahan kota itu terutama dinikmati dari sudut jalan?  Jalan-jalan haruslah berirama, diatur dengan sumbu jalan, dan harus diberikan titik-titik klimaks dan sebagainya. Irama tersebut meningkatkan daya orientasi. Hal-hal tersebut merupakan ciri sebuah kota yang indah dimana nilai keindahan bukan hanya diukur dengan keindahan pemandangan saja (Thomas Karsten dalam Handinoto, 1996)

Sebuah pemikiran bijaksana dari seorang urban desainer.  Herman Thomas Karsten.

This slideshow requires JavaScript.

Boulevard ijen dan segmen jalan dari alun-alun bunder ke stasiun, dua dari sekian banyak karya Karsten yang hingga kini masih mampu menunjukkan karakter khas arsitektur kota Malang. Sayangnya semakin banyak bangunan-bangunan bergaya kolonial—aset-aset kota ini yang kini dipugar. Bukan untuk dibangun kembali sesuai aslinya, namun justru dirombak habis-habisan. Kawasan alun-alun kota, Kayutangan, dan villa-villa megah di Ijen adalah beberapa diantara sekian banyak korbannya. Saya tak mengerti mengapa Pemerintah Kota mengijinkannya. Mengijinkan aset-aset kota—pembentuk citra kota ini dihancurkan.

Malang telah kehilangan begitu banyak. Dan itu membuatnya semakin jauh tertinggal dari ‘adik kecilnya’, Batu.

Sungguh sayang. Begitulah jadinya, jika perencanaan kota hanya berkiblat pada uang—juga kepentingan pribadi. Kapitalisme ekonomi, yang sesungguhnya hanya menguntungkan segelintir pihak saja.  Boleh saja disangkal, namun degradasi lingkungan dan wajah kota Malang yang kini tanpa karakter telah membuktikannya lebih dari ribuan kata-kata. Semua orang bisa melihat. Semua orang bisa merasakan. Semua orang bisa menilai sendiri.

Tanggal 23 Mei 2013 nanti kota Malang akan berpesta. Pemilihan Walikota dan Wawali yang baru. Gegap gempitanya sudah terasa dan terlihat dari semakin banyaknya spanduk, baliho, dan segala atribut kampanye yang telah bertengger ‘meramaikan’ wajah kota sejak beberapa bulan lalu. Siapapun yang nantinya terpilih, saya berharap ia adalah sosok yang menghargai dan mencintai masyarakat juga lingkungan kotanya lebih dari gelimangan rupiah. Sosok yang akan menjadi the new  ‘Thomas Karsten’ yang mampu memperbaiki carut-marut wajah kota Malang kini, dan menunjukkan kembali karakter kotanya.

Ah… betapa rindu saya pada dingin dan nyamannya kota Malang dulu…

PUSTAKA

Handinoto, (1996), Perkembangan Kota Malang Pada Jaman Kolonial (1914-1940), Dimensi Arsitektur 22, Agustus 1996,  http://fportfolio.petra.ac.id/user_files/81-005/KOTA%20MALANG.pdf, diakses pada 4 Desember 2012

Malang plus, (2009), Switzerland of Indonesia, http://www.jongjava.com/web/news/1-malang-plus/355-switzerland-of-indonesia, diakses pada 15 Mei 2013

Foto-foto kota Malang tempo dulu, dari berbagai sumber di google image

Tagged , , , ,

Berarsitektur hijau dengan lokalitas: belajar dari rempah rumah karya

Rempah rumah karya

Berarsitektur dengan konsep ‘hijau’ kini sudah bukan lagi sekedar trend, namun telah menjadi kewajiban moral bagi setiap arsitek. Apa sih yang ada di benak saat mendengar kata ‘arsitektur hijau’—atau yang biasa juga diistilahkan ‘arsitektur berkelanjutan’—atau lebih kerennya ‘sustainable architecture’?? Tentunya konsep arsitektur hijau tidaklah sesederhana memberikan warna hijau pada dinding bangunan yang kita rancang atau menambahkannya dengan sentuhan tanaman di sana-sini.

Berbagai definisi arsitektur hijau bisa kita dapati dari diktat-diktat kuliah di perpustakaan. Menurut saya konsep arsitektur hijau adalah bagaimana sebuah bangunan yang kita rancang dapat berdiri dan menghidupi dirinya tanpa membawa dampak buruk yang merugikan lingkungan sekitar. Definisi yang masih sangat luas memang, dapat didekati dari berbagai perspektif.

Ketika murid-murid saya semester kemarin ditanya tentang arsitektur hijau, mereka bilang, “Arsitektur hemat energi Bu, yang memanfaatkan sumber daya alam.” “Menggunakan pencahayaan dan penghawaan alami”. “Menggunakan panel surya untuk mengubah energi panas matahari menjadi listrik.” “Menggunakan material alami Bu.” …. Dan lain-lain dan lain-lain..

Ya.. ya… kalian semua benar, tidak salah. Arsitektur hijau memang identik dengan hemat energi. Penggunaan panel surya memang efektif untuk mengakomodasi penggunaan listrik dalam bangunan tanpa perlu terlalu bergantung pada lingkungan. Tapi berapa biayanya? Sanggupkah ditanggung masyarakat kita saat ini? Itukah yang disebut hemat?

Penggunaan material-material alami, mengurangi finishing bangunan dengan bahan kimia yang membahayakan lingkungan. Ide yang bagus. Tapi tunggu dulu, material alami jenis apa yang digunakan? Kayu kah? Bambu? Batu-bata ramah lingkungan? atau apa? Dari mana didatangkan? Sejauh apa mendatangkannya? Berapa besar emisi CO2 yang dikeluarkan oleh kendaraan pengangkut material-material tersebut—yang nantinya akan berkontribusi dalam pencemaran udara? Inikah yang disebut ‘hijau’?

Penggunaan material-material bekas. Hmm.. solusi yang menarik. Menggunakan kembali bahan-bahan yang tak terpakai lagi. Mengurangi sampah lingkungan. Sejauh ini material bekas yang menjadi ‘favorit’ adalah bantalan rel kereta, pecahan keramik bekas, juga botol bekas minuman.  Material bekas cenderung lebih banyak digunakan sebagai material non struktural. Sekedar penambah nilai estetika. Masih jarang yang menggunakan bahan bekas sebagai material struktural. Sehingga secara komposisi penggunaan apabila dibandingkan dengan material baru, prosentasenya masih kalah jauh. Pemilihan material bekas yang digunakan sebaiknya juga memilih dari apa yang ada di sekitar kita saja. Penggunaan material bekas yang harus dibeli dengan harga cukup mahal atau didatangkan dari tempat yang jauh—misalnya bantalan rel kereta api, dikhawatirkan akan memakan energi lebih yang justru akan mengurangi prinsip-prinsip dari konsep ‘green‘ itu sendiri. Tidak mudah memang, namun dengan kemauan dan kreatifitas, tidak ada yang tidak mungkin untuk diwujudkan.

Rumah Rempah karya, karya Paulus Mintarga menjawab tantangan tersebut. Paulus Mintarga dengan cerdas memanfaatkan barang-barang bekas yang ada di sekitarnya. Kayu bekas, kaca bekas, besi, kaleng, bahkan plat nomor kendaraan bekas semuanya ia gunakan sesuai dengan sifatnya. Eksperimen inovatif dari Paulus Mintarga ini akhirnya menghasilkan sebuah karya artistik—rumah rempah karya yang 90% materialnya terbuat dari barang bekas. Dan karena materialnya sebagian besar berasal dari sampah yang tidak dibeli, pengerjaan bangunan inipun tidak menghabiskan biaya yang besar (blackexperience.com).

Mendengarkan material berbicara, itulah konsep perancangan rempah rumah karya.

Dalam menentukan desain dan bentukan bangunannya, Paulus melihat material-material apa yang ia miliki—jenisnya, sifatnya, bentuknya, teksturnya, juga ukurannya, dan membiarkan material-material tersebut sendiri yang menentukan desain bangunannya—dengan kelebihan dan keterbatasan kondisi mereka. Sungguh proses yang melibatkan keberanian dan kreatifitas tinggi. Sangat-sangat patut diacungi jempol.

Sesungguhnya saya sendiri surprise dengan hasilnya! Ketika proses pembangunan berlangsung, saya hampir tidak berani berharap tentang hasilnya sebab sejak awal sudah berjanji untuk hanya membiarkan material-material itu bersolek sendiri, bukannya mengubah mereka untuk memuaskan keinginan hati. Itu sebabnya selama proses pembangunan, saya selalu menjaga kemurnian tekad itu. Ketika material diizinkan bersolek, mereka akan meng-inspirasi yang melihatnya lalu ruang pun terbentuk dengan sendirinya – Paulus Mintarga (dalam http://www.sabdaspace.org/node/10500)

Rumah rempah karya, sebuah karya bersahaja yang mengedepankan lokalitas. Seperti dikutip dari kata-kata sang arsitek,

Kalau kita bisa mengoptimalkan segala sesuatu berdasarkan semangat lokalitas dimana kita berada—dengan barang yang ada, dengan potensi yang ada, tentu akan bermanfaat bagi manusianya. Selain itu energi yang digunakan juga lebih sedikit, dampak terhadap lingkungannya otomatis ya… akan bagus. – Paulus Mintarga

Sesungguhnya konsep arsitektur hijau sangat luas—lebih dari sekedar bangunan. Arsitektur hijau merangkum keselarasan hidup manusia dengan alam. Di dalamnya juga termasuk pola pikir dan cara hidup. Banyak pendekatan yang dapat dilakukan untuk berarsitektur hijau. Pilihlah yang paling dekat dan sesuai dengan kemampuan kita.

Ohya, ngomong-ngomong tentang sampah, sudah pernah nonton “The Garbage Warrior?” Sebuah film tentang Michael Reynolds, arsitek yang dijuluki ‘Pendekar Sampah’. Cukup ekstrim memang, tapi seru… Recommended. Sangat. 🙂

PUSTAKA

http://www.blackxperience.com/index.php?page=events-detail&aeid=2411

http://archmagazine.blogspot.com/2011/10/hemat-energi-dengan-arsitektur-hijau.html

http://www.sabdaspace.org/node/10500

http://www.youtube.com/watch?v=0Ao8xBkKPTw

http://www.youtube.com/watch?v=erVkMAKmJKY

http://www.youtube.com/watch?v=QDp7yFmMhss

Foto diambil dari sini

Tagged , , , , , ,

Tempat Favorit Mahasiswa Sebagai Sarana Restorative

Astri Anindya Sari (1), Hanson Endra Kusuma (2), Baskoro Tedjo (3)

Abstrak

Tempat favorit memiliki manfaat restorative atau regulasi emosi yang dapat mengembalikan ketegangan pikiran akibat aktivitas sehari-hari. Bagi mahasiswa, tempat favorit berfungsi sebagai penyeimbang aktivitas belajar sehari-hari yang membutuhkan konsentrasi tinggi. Karena itu keberadaan tempat favorit mutlak dibutuhkan sebagai penunjang aktivitas mahasiswa pada kota-kota yang berorientasi ke pendidikan. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif untuk mengetahui tempat favorit mahasiswa yang digunakan untuk tujuan restorative, serta alasan pemilihannya. Hasil penelitian akan berkontribusi pada perumusan kriteria perencanaan tempat favorit yang dapat memberikan manfaat restorative bagi mahasiswa. Ditemukan bahwa mall, ruang terbuka dan ruang hobby merupakan tiga tempat terfavorit yang dipilih mahasiswa lokasi studi sebagai sarana restorative. Ditemukan pula bahwa manfaat restorative yang diperoleh mahasiswa pada tempat favoritnya disebabkan oleh tiga dimensi yakni kualitas tempat dan aktivitas (place activity dependence), kualitas tempat (place dependence) serta  aktivitas (activity dependence). Aktivitas yang terjadi di tempat favorit dapat dikategorikan menjadi dua yakni aktivitas santai (low tension) yang cenderung terjadi pada tempat-tempat dengan dimensi place dependence maupun place activity dependence, serta aktivitas hobby (high tension) yang cenderung terjadi pada tempat-tempat activity dependence.

Kata-kunci : aktivitas, kualitas tempat, mahasiswa, restorative, tempat favorit

 

Tulisan dimuat di Jurnal Lingkungan Binaan (JLBI) Vol. 1 No. 1 Juli 2012

Tagged , , , ,

SHOPPING MALL PLANNING STRATEGY FOR STUDENTS SEGMENTATION*

Astri Anindya Sari1, Hanson Endra Kusuma2, Baskoro Tedjo3
1 Tenaga Pengajar, Program Studi Arsitektur Universitas Widya Kartika Surabaya
2,3 Tenaga Pengajar , Kelompok Keahlian Perancangan Arsitektur, SAPPK-ITB
 

ABSTRACT

In the midst of shopping mall development today, an understanding of consumer behaviors and preferences is an absolute must for a successful planning of a shopping mall. This knowledge will provide input for strategic planning so that the concept offered for shopping mall development will suit the tastes of consumers and may win the market competition.

This study explores the preferences of students in Bandung as one of the potential market segments for the shopping mall. Qualitative study was conducted to find out the reasons the students choose a particular shopping mall as a favorite place. It was found that the factors of accessibility and design are important things that encourage student preferences towards shopping mall. While the facilities in a shopping mall which are the major appeal for college students segment are entertainment facilities (entertainment) and places to eat.

Key words: shopping mall, students, preferences, spatial physical characteristics, activity.

ABSTRAK

Di tengah maraknya pengembangan shopping mall dewasa ini, pemahaman mengenai perilaku dan preferensi konsumen merupakan suatu hal yang mutlak untuk kesuksesan perencanaan sebuah shopping mall. Pengetahuan ini akan memberikan masukan bagi strategi perencanaan sehingga konsep shopping mall yang ditawarkan akan sesuai dengan selera konsumen dan dapat memenangkan persaingan pasar.

Penelitian ini mengeksplorasi preferensi mahasiswa di Bandung sebagai salah satu segmen pasar yang potensial bagi shopping mall. Penelitian dilakukan secara kualitatif untuk mengetahui alasan-alasan mahasiswa memilih shopping mall tertentu sebagai tempat favorit. Didapatkan bahwa faktor aksesibilitas dan desain merupakan hal penting yang mendorong preferensi mahasiswa terhadap shopping mall. Sedangkan fasilitas dalam shopping mall yang menjadi magnet utama bagi segmen mahasiswa adalah fasilitas hiburan (entertainment) dan tempat makan.

Kata kunci : shopping mall, mahasiswa, preferensi, karakteristik fisik spasial, aktivitas

*) Tulisan dimuat di International Research Journal of Business Studies vol.4 no.2 Agustus-November 2011

download full paper

Tagged , , ,

ARSITEKTUR: bukan melulu tentang bangunan-bangunan megah

Apa sih yang ada di bayangan ketika mendengar kata arsitektur? Kenapa ingin jadi arsitek??

Jujur saja, di bangku kelas 3 SMU kala itu, ketika memilih jurusan Arsitektur yang ada di bayangan saya adalah kelak bisa jadi Arsitek. Merancang rumah-rumah yang besar. Bangunan-bangunan yang indah, yang membuat banyak orang berdecak kagum.

Namun setelah lebih dalam menggeluti bidang ini, saya menyadari bahwa pendapat tersebut ternyata salah besar. Hmm.. tidak sepenuhnya salah mungkin, namun yang jelas esensi arsitektur sendiri jauh lebih luas dan dalam daripada itu.

Ya, produk arsitektur memang bukan hanya bangunan-bangunan pencakar langit yang tampak angkuh menjejak bumi. Pun bukan hanya mall dan hotel-hotel mewah berdesain unik yang selalu mengundang kekaguman.  Produk arsitektur juga bukan hanya rumah-rumah mewah milik kaum jetset yang setiap akhir minggu tayang di acara inspirasi hunian yang ditayangkan oleh stasiun tv swasta kita.

Esensi arsitektur yang sesungguhnya terletak pada bagaimana memberi nilai tambah kepada sebuah lingkungan (dan bangunan) sehingga dapat lebih memberi manfaat bagi lingkungan dan masyarakat. Bukan sekedar dinilai dari kemegahan estetika desainnya.

Sebuah karya arsitektur yang dinilai baik itu ternyata tidak harus berdiri ditengah kota besar. Bisa terbangun diantara gang-gang sempit. Bisa pula berdiri di sebuah desa terpencil yang jauh dari modernitas. Bahkan bisa juga berada di tengah-tengah permukiman kumuh.

Sungguhkah?

Belajar dari Diébédo Francis Kéré

This slideshow requires JavaScript.

Gando Primary School, sebuah sekolah dasar sederhana di desa terpencil Gando-Burkina Faso membuktikan hal itu. Karya yang memenangkan anugerah arsitektur internasional “Aga-Khan Award” 2002-2004 ini dinilai memberi manfaat besar bagi masyarakat sekitar dari segi desain, pemilihan material, proses pembangunannya selain tentunya melalui hasil nyata yakni pendidikan dasar yang kini dapat dinikmati oleh anak-anak desa Gando dengan lebih layak.

Diébédo Francis Kéré, arsitek sekaligus penggagas dan pengumpul dana untuk pendirian sekolah itu merupakan satu-satunya penduduk asli desa Gando yang mendapat kesempatan belajar Arsitektur di Universitas Berlin, Jerman melalui program beasiswa. Sadar akan pentingnya pendidikan, Francis Kéré yang kala itu masih berstatus mahasiswa menggagas pembangunan sebuah sekolah dasar di desa asalnya yang masih sangat tertinggal.

“Among other things, school education and training are the basis of any social, professional and economic development. For this reason it is vital that a school is provided for my village and that it is made accessible to as many children as possible.” — Diébédo Francis Kéré

Tidak sekedar menggagas pendirian sekolah itu, Francis Kéré  menggalang dana pembangunannya melalui organisasi yang ia prakarsai yakni “School Bricks For Gando”. Ia juga memikirkan bagaimana desain yang paling sesuai untuk lingkungan dan iklim di desanya. Tak hanya itu, Diébédo Francis Kéré memanfaatkan material lokal untuk pembangunan sekolah yang dirancangnya serta menggunakan sistem pembangunan self-help yang melibatkan partisipasi masyarakat setempat dalam keseluruhan proses pembangunan. Hasilnya? Tidak sekedar lebih hemat biaya, namun juga memberikanpengetahuan dan keterampilan baru yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Mengagumkan..

Hmm… apa saja sih yang dulu saya lakukan saat masih jadi mahasiswa? -___-“

Keberadaan Primary School Gando, mulai dari desain, proses pembangunan, hingga hasil dari kegiatan belajar mengajar  di dalamnya telah memberikan pengaruh nyata dan positif bagi masyarakat desa Gando dan sekitarnya.  Sistem pembangunan yang memberdayakan material dan tenaga kerja lokal telah memberikan keterampilan baru pada masyarakat tentang cara-cara pembangunan dan peningkatan mutu material lokal untuk keperluan pembangunan mereka. Lebih lanjut, keterampilan ini memberikan dampak positif pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.  Bahkan teknik pengorganisasian masyarakat yang diaplikasikan pada desa Gando akhirnya ditiru oleh desa-desa sekitarnya untuk membangun sekolah mereka secara mandiri.  Disisi lain, keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan sekolah membangun rasa kepemilikan masyarakat terhadap sekolah tersebut. Hal itu merupakan salah satu faktor pendorong masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya di Gando Primary School.

Francis Kéré dan Gando Primary School-nya telah mengajarkan saya banyak hal. Bahwa sebuah karya arsitektur yang baik ternyata tidak harus selalu lahir dari desain-desain yang megah dan mewah. Bahwa arsitektur itu ternyata bukan hanya milik kaum elit yang berduit. Bahwa ternyata ada begitu banyak faktor yang harus dipertimbangkan untuk menghasilkan karya arsitektur yang baik. Bahwa arti kreatifitas dalam arsitektur itu ternyata lebih dari sekedar olah bentuk untuk menciptakan estetika..

Ps. Keindahan itu relatif, kebermanfaatan itu mutlak.  Sederhana bisa berarti indah, di sisi lain megah juga belum tentu indah. Mari bersama-sama menciptakan lingkungan binaan yang tidak hanya sekedar indah namun lebih dari itu membawa kebaikan bagi pengguna juga masyarakat sekitar dan lingkungannya…

PUSTAKA

Anonim, Diébédo Francis Kéré Berlin, Germany-Gando, Burkina Faso, www.ethanzuckerman.com/blog/2008/…/inspiration-franciskeke/

Carter, Morgan. M, Architecture and Social Change in the Development Era, International Sustainable Development, www.mcgill.ca/files/mchg/carter_isd_essay.pdf

Carter, Morgan. M, School Bricks for Gando, www.mcgill.ca/files/mchg/carter_isd_casestudy.pdf

Kéré , Diébédo Francis , (2006), Primary School Gando, Burkina Faso, http://www.kere-architecture.com/bf/bf_001.html

http://www.fuergando.de/en/philosophie/philosophie.html

Tagged , , ,

suasana perkuliahan

This slideshow requires JavaScript.

 

Oleh-oleh studi tour—Part 1. KALIANDRA

Kaliandra, nama tempat yang sebelumnya hanya saya tahu sebagai lokasi out-bond. Sudah, itu saja. Tidak ada yang istimewa. Sama sekali tidak ada, hingga kemarin 12 Maret 2012 saya sebagai salah satu pengajar berkesempatan mengunjungi tempat ini melalui rangkaian kegiatan study tour mahasiswa arsitektur-elektro-komputer akuntansi Universitas Widya Kartika Surabaya. Saat itulah saya baru menyadari bahwa tempat ini—dan orang-orang yang terlibat di dalamnya sungguh luar biasa.

Sebagai seorang dengan latar belakang pendidikan arsitektur, tentu saya mengagumi Kaliandra dari sisi komposisi arsitektural bangunannya yang beridentitas–begitu khas Indonesia. Sudah tentu saya juga mengagumi apiknya pengolahan lansekap yang menyuguhkan pengalaman ruang menarik melalui serangkaian serial vista yang tercipta. Namun bukan hanya itu saja. Bagi saya keindahan tempat ini lebih dari sekedar keindahan fisik desain arsitekturalnya, tetapi bagaimana konsep pengembangan tempat ini mampu menjadi angin penyejuk bagi masyarakat desa disekitarnya, juga pada lingkungan disekitar kompleks ini berada.

pendopo kaliandra – arsitektur jawa

Beuh… berat banget kedengarannya ya? Hehehe.. Yah.. memang begitu. Menurut saya profesi arsitek adalah profesi yang penuh tanggung jawab. Arsitek menggambar dan mendesain bangunan bukan hanya sekedar untuk keren-kerenan. Bagi saya seorang arsitek yang sukses bukan hanya dilihat dari seberapa indah dan ‘wah’ karyanya tetapi lebih dari itu seorang arsitek yang sukses adalah yang mampu mempertanggungjawabkan karyanya pada lingkungan dan masyarakat sekitar bangunannya berdiri. Seorang arsitek mendesain gedung tinggi–megah, namun ujung-ujungnya lingkungan sekitar jadi banjir. Atau mendesain dan membangun mall megah yang selalu ramai dikunjungi orang, namun akhirnya malah membuat warga sekitar yang tadinya punya toko jadi kehilangan pembeli. Lalu untuk apa bangunan-bangunan megah itu berdiri?? Sebagai icon konsumerisme dan pemenuhan keinginan klienkah? Atau hanya sebagai koleksi portfolio sang arsitek?? Sungguh sayang kalau begitu…

Yap, arsitek memang bukan hanya sekedar tukang gambar bagi klien. Seorang arsitek harus sepenuhnya sadar bahwa hasil rancangannya akan memberikan kontribusi–dampak bagi lingkungan sekitar. Bukan hanya lingkungan fisik, namun juga masyarakat setempat. Sudah tentu dampak positif yang diharapkan terjadi, baik pada lingkungan maupun kehidupan dan penghidupan masyarakat disekitarnya. Sehingga terjadi keberlanjutan yang positif—istilah kerennya sustainable J Disitulah adanya visi—niat positif dari seorang arsitek akan sangat-sangat berpengaruh. Sulit memang… namun bukan mustahil.

Okeiii… kembali ke Kaliandra. Seperti sudah saya tuliskan diatas, nilai positif Kaliandra terletak pada keberhasilannya membangun lingkungan dan membangun masyarakatnya menjadi lebih baik.

Terletak di hutan pada lereng Gunung Arjuna tempat mata air yang memenuhi 60% kebutuhan penduduk Jawa Timur memancar. Tapak kaliandra memiliki kelebihan dari sisi panorama alami dan udaranya yang masih bersih. Diceritakan oleh Bapak Tim Kaliandra (saya lupa nama Bapak, maafkan saya Pak,, ) bahwa penduduk desa sekitar Kaliandra dulunya berprofesi sebagai penjual arang, dimana arang-arang tersebut mereka dapatkan dari hasil pembakaran pohon-pohon di hutan. Selain itu sebagian warga juga berprofesi sebagai pemburu hewan di hutan. Para pemburu ini tentunya menguasai setiap jengkal hutan dengan sangat baik.

Dengan pendekatan yang baik serta pemahaman yang baik akan kelebihan dan kelemahan yang dimiliki masyarakat, tim kaliandra mengubah kelemahan menjadi kesempatan, sedangkan kelebihan menjadi potensi untuk dikembangkan. Warga yang semula berjualan arang, diajarkan bercocok tanam organik, bahkan diajak bermitra langsung dengan kaliandra—sehingga mereka kini tak lagi membakar hutan. Warga yang jadi pemburu diajarkan pengetahuan gude—penunjuk jalan untuk wisatawan-wisatawan, sehingga mereka tak lagi memburu hewan, tetapi tetap survive secara ekonomi, bahkan mengalami peningkatan. Berbagai pendidikan dasar seperti baca tulis, bahasa Inggris, serta seni bermain gamelan yang memperhalus perasaan saembari menanamkan nilai-nilai pentingnya mengelola dan menjaga lingkungan diberikan pada anak-anak desa sekitar. Penting dilakukan, mengingat pendidikan adalah basis dari perubahan. Selain itu, mengajarkan pada anak-anak tentulah cara yang lebih cepat dan efektif untuk merubah kebiasaan.



lahan pertanian organik


Untuk menunjang segala kegiatan tersebut, berbagai fungsi penunjang diciptakan. Paket wisata, penginapan, outbond, paket pelatihan dan pembelajaran budaya juga lingkungan hidup. Kesemuanya ditunjang desain arsitektur yang memikat. Asri, alami, khas Indonesia.

Sungguh sebuah karya yang komplit dan bermanfaat…

Sayapun ingin menghasilkan karya seperti itu kelak, semoga.. (aminn)

PEDAGANG KAKI LIMA, POTENSI YANG TERPINGGIRKAN: Optimalisasi potensi kota melalui pengelolaan aktivitas pedagang kaki lima secara kolaboratif

Astri Anindya Sari

Mahasiswa Magister Arsitektur, SAPPK – Institut Teknologi Bandung

e-mail: thatitoetz@yahoo.com

ABSTRAK

Permasalahan khas yang dihadapi oleh kota-kota besar di negara berkembang adalah tingginya arus urbanisasi dan pertumbuhan penduduk tanpa diimbangi dengan peningkatan lapangan kerja yang signifikan. Sebagai akibatnya masyarakat urban informal harus berupaya pibadi secara kreatif mencari sumber penghidupan bagi diri dan keluarganya. Salah satu upaya tersebut terlihat dari menjamurnya pedagang kaki lima dengan berbagai barang daganganya pada lokasi-lokasi strategis di ruang publik kota seperti trotoar, ruas jalan, maupun ruang terbuka kota.

Aktivitas pedagang kaki lima di ruang publik kota secara tidak langsung mengkonstruksi ruang sosio temporal yang mampu memberikan warna tersendiri bagi aktivitas di kota. Aktivitas mereka menyediakan ruang sosial bagi masyarakat yang tak tersegmentasi, sehingga kehadirannya selalu dibutuhkan. Disisi lain, keberadaan pedagang kaki lima dengan kesemrawutan tampilannya dinilai membawa masalah dan merusak citra keindahan serta kebersihan kota. Akibat negatif inilah yang menyebabkan pemangku kebijakan tertentu cenderung menganggap keberadaan pedagang kaki lima sebagai masalah yang harus disingkirkan daripada memandangnya sebagai potensi yang dapat dikembangkan.

Melalui studi komparasi terhadap pengelolaan pedagang kaki lima pada ruang publik di berbagai kota, tulisan ini ingin menunjukkan bahwa dengan pengelolaan aktivitas dalam ruang terbuka secara kreatif dan terpadu melalui kolaborasi pihak-pihak yang terlibat didalamnya, permasalahan yang timbul akibat aktivitas pedagang kaki lima pada ruang publik kota dapat diminimalisir. Pengelolaan secara kolaboratif tersebut mampu memaksimalkan potensi yang ada sehingga aktivitas yang terjadi akan mampu memberikan berbagai manfaat baik terhadap kota yang bersangkutan, masyarakat, maupun pemerintah kota.

Kata kunci: pedagang kaki lima, ruang publik kota, pemangku kebijakan, pengelolaan kolaboratif

Kalau yang ini dipresentasikan pada seminar Morfologi Arsitektur- Undip Semarang (November 2010)